7 Rekomendasi Buku Kumpulan Cerita yang Asyik Dibaca Ulang Saat #dirumahaja

7 Rekomendasi Buku Kumpulan Cerita yang Asyik Dibaca Ulang Saat #dirumahaja

Sudah sebulan lebih pemerintah Indonesia menyuruh para warganya untuk tetap di rumah demi mencegah penyebaran virus Corona. Efek terlalu lama di rumah pasti membuat orang-orang jadi gampang jenuh. Energi yang semula dihabiskan untuk bekerja atau beraktivitas di luar rumah, kini jadi sulit tersalurkan. Mereka harus mencari kegiatan yang dapat menghilangkan kebosanan tanpa meninggalkan rumah.

Membaca buku merupakan salah satu kegiatan yang paling cocok saat di rumah saja. Dengan membaca buku, kita dapat membuat pikiran tetap waras dan jernih sekalipun sedang menghadapi situasi yang gawat. Lalu, jenis buku apa yang cocok untuk dibaca ulang di kondisi seperti ini? Saya pun mencoba merekomendasikan tujuh buku kumpulan cerita yang asyik agar bisa menghibur kalian dari rasa penat karena di rumah saja.

Creator Image
Yoga Akbar Sholihin
Lifestyle blogger
  • A. S. Laksana
    Bidadari yang Mengembara


    Yoga Akbar Sholihin

    Dunia magis yang terjadi pada dua belas cerpen A. S. Laksana di buku ini sebetulnya dekat dengan keseharian kita. Temanya pun lebih sering tentang keluarga. Akan tetapi, cara A. S. Laksana mengolah kalimat-kalimatnya akan membuat pembaca terhanyut ke dalam kisahnya.

    Cerpen pembuka yang bertajuk Menggambar Ayah, misalnya, otomatis membuat saya terpesona. Ceritanya dituturkan lewat sudut pandang seorang anak yang tak memiliki ayah, lalu dia menggambar ayahnya di tembok-tembok rumah warga. Penampilan anak itu terbilang cacat karena bentuk kepalanya tidak bagus, kedua matanya melotot besar, dan tangannya panjang sebelah.

    Dia terlahir seperti itu lantaran tak diinginkan oleh ibunya sendiri. Penulis dengan cerdik menggambarkan kejadian saat sang anak masih berada di dalam perut ibunya, kemudian mendapat serangan dari racun pil penggugur kandungan yang ditelan sang ibu. Baguslah ada malaikat-malaikat penjaga yang membangun benteng demi menyelamatkan bayi itu. Bukankah kisah semacam itu terasa magis? 

    Belum lagi cerita tentang seorang manusia yang berubah menjadi seekor kupu-kupu atau seorang istri yang tiba-tiba mengeluh kepada suaminya karena merasa di dalam kepalanya terdapat ular. Ada juga kisah seorang adik yang lama tak berjumpa dengan kakaknya, tetapi begitu bertemu kembali sang kakak justru berubah menjadi sesosok banci. Dengan menghadirkan ide cerita seciamik itu dan memberikan humor yang sesuai porsi, rasanya memang pantas kalau karya A. S. Laksana ini terpilih sebagai buku sastra terbaik tahun 2004 versi Majalah Tempo.
  • Yusi Avianto Pareanom
    Muslihat Musang Emas


    Yoga Akbar Sholihin

    Setahu saya, tak ada satu pun manusia yang suka dibohongi ataupun ditipu. Namun dalam konteks yang berbeda, seperti pada pertunjukan sulap, sebagian orang justru rela meluangkan waktu dan mengeluarkan uangnya untuk dikibuli. Saat menonton acara sulap, kita tentu sadar bahwa akan tertipu, bahkan justru mengharapkannya. 

    Hal ini karena di lain sisi ada perasaan menyenangkan yang tak bisa dijelaskan ketika sang penampil berhasil mengelabui kita lewat trik-triknya. Kita pun jadi bertanya-tanya bagaimana caranya. Nah, membaca buku kumpulan cerita Muslihat Musang Emas karangan Yusi Avianto ini menurut saya bagaikan sedang menonton pertunjukan sulap. 

    Saya berulang kali merasa jengkel sekaligus kagum saat mendapatkan kejutan di dalam ceritanya. Saya baru tahu kalau ditipu berkali-kali oleh cerita yang bagus ternyata bisa seasyik ini. Buku yang berisi 21 cerpen ini memang tidak semuanya mengandung tipu muslihat alias plot twist. Meski begitu, kesenangan ketika membaca ceritanya tak perlu diragukan lagi. 

    Yusi menghadirkan tokoh-tokoh yang bernasib sial, lalu menggiring pembaca untuk menertawakan kemalangan mereka. Selain tertawa-tawa, tentunya ada juga kisah yang secara tak langsung mengajak kita untuk berkontemplasi. Teknik penceritanya pun sangat mengasyikkan untuk diikuti. Jika kebanyakan cerita dimulai dari awal kemudian menuju akhir, Yusi Avianto memakai alur maju mundur pada beberapa cerpen demi menghindari klise. 

    Bahkan pada cerpen Alfion, dia memulai kisahnya dari bagian akhir, yaitu saat tokohnya tewas terbunuh. Pembaca lantas dibuat bertanya-tanya, mengapa sang tokoh menjadi buronan polisi? Apa yang memutuskan Alfion hidup sebagai penjahat? Siapa yang memicu Alfion memilih jalan itu? Kisah pun bergerak mundur ke beberapa tahun silam demi menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
  • Eka Kurniawan
    Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi


    Yoga Akbar Sholihin

    Jatuhnya pilihan saya untuk merekomendasikan buku ini ketimbang karya Eka lainnya, Corat-coret di Toilet atau Cinta Tak Ada Mati, adalah karena tema di dalamnya sangatlah beragam. Dari 15 cerpen di buku ini, Eka tidak hanya mengisahkan tentang manusia, tetapi juga memunculkan hewan-hewan. Seperti pada cerpen Membuat Senang Seekor Gajah, Setiap Anjing Boleh Berbahagia, Kapten Bebek Hijau, dan Pelajaran Memelihara Burung Beo, semua kisah tentang hewan. 

    Belum lagi pilihan Eka yang unik untuk menghidupkan benda mati pada Cerita Batu. Menyimak bagaimana batu memiliki dendam terhadap seorang manusia karena ia dijadikan sebagai alat membunuh manusia lain benar-benar menghibur. Sekalipun saya menjagokan cerita binatang daripada manusia di buku ini, bukan berarti cerpen mengenai kisah manusianya buruk. Cerpen-cerpen tersebut juga tak kalah menarik, terutama cerpen yang dijadikan judul buku ini.

    Eka berupaya menulis ulang cerita The Ruined Man Who Became Rich Again Through a Dream dari buku The Arabian Nights terjemahan Sir Richard F. Burton dengan gayanya sendiri. Lebih tepatnya, Eka hanya mengambil ide pokoknya, lalu menyulapnya menjadi cerita baru yang berlatar di Pangandaran, Jawa Barat. Kalau penulisan semacam itu adalah bentuk eksperimen, saya kira Eka telah berhasil melakukannya.
  • Dea Anugrah
    Bakat Menggonggong


    Yoga Akbar Sholihin

    Biasanya judul buku kumpulan cerpen dipilih dari salah satu cerpen yang terhimpun di dalamnya. Namun, buku ini mencoba untuk mendobrak sistem itu. Saya pikir pemilihan judulnya diambil dari kemampuan naratornya yang lihai dalam bercerita. Dengan gaya bercerita yang cerewet, terkesan sok tahu, dan sinis, entah mengapa justru menjadi keunikan tersendiri hingga mampu memikat pembaca. Selain naratornya yang asyik, Dea Anugrah juga bermain-main dengan teknik penceritaaan. 

    Seperti yang kita ketahui, cerita lazimnya terdiri dari narasi, deskripsi, dan dialog. Lalu, pada cerpen Kisah Sedih Kontemporer (IV), Dea menyampaikan sebuah kisah tersebut cuma lewat dialog. Walaupun terlihat singkat dan amat sepele, tetapi ujaran-ujaran tokohnya bagi saya begitu penting. Coba bayangkan saja bagaimana dialog sepasang suami istri yang ingin bercerai, lalu memutuskan hak asuh anak mereka dengan melempar koin. Bukankah itu konyol sekali?

    Tema yang ada di buku ini banyak bercerita tentang kesedihan dan kematian, tetapi saya salut sekali dengan penulisnya karena sanggup mengolah tulisannya dengan baik tanpa terlihat cengeng. Dengan membaca ulang buku ini, tentunya bisa membuat saya belajar banyak gaya kepenulisan. Pujian terakhir saya berikan buat ilustrasi keren pada awal-awal bab yang menjadi nilai tambah dari buku ini.
  • Etgar Keret
    The Seven Good Years


    Yoga Akbar Sholihin

    Isi buku memoar penulis asal Israel ini justru bertolak belakang dengan judulnya. Kejadian-kejadian yang dialami si penulis selama tujuh tahun itu ternyata lebih banyak keburukannya daripada kebaikannya. Contohnya, ketika dia berada di rumah sakit untuk menunggu kelahiran anak pertamanya, dia malah didatangi oleh salah seorang wartawan dan disangka sebagai korban perang. Mau bagaimana lagi, dia memang tinggal di negara yang berperang. 

    Biarpun begitu, dia ternyata malah menuliskan pendapatnya dengan menentang kependudukan Israel di Palestina, serta mendukung perdamaian sampai-sampai diboikot oleh negaranya sendiri. Cerita-cerita kesehariannya yang dipenuhi dengan kesialan dan penderitaan disampaikan secara kocak. Keret seolah-olah mengajak pembaca untuk menjadikan suatu tragedi sebagai komedi. Pada bab Pendosa yang Lain, Keret berujar bahwa penulis bukanlah nabi. 

    Dia adalah pendosa lainnya yang punya kesadaran lebih tajam dan menggunakan bahasa yang sedikit lebih tepat untuk mendeskripsikan realitas yang tak terbayangkan di dunia kita. Penulis bukanlah orang yang lebih baik dari pembacanya, kadang dia jauh lebih buruk, dan begitulah seharusnya. Dengan itu, Keret ingin menyampaikan kalau penulis bukanlah malaikat. Dia sama seperti manusia lainnya yang bisa berbuat salah dan mengalami nasib apes. Cerita-ceritanya terasa dekat dan dapat mewakilkan pembacanya.
  • Raymond Carver
    What We Talk About When We Talk About Love


    Yoga Akbar Sholihin

    Sebagian pembaca menyukai akhir cerita yang pasti, entah itu bahagia ataupun sedih. Sedangkan, sebagian yang lain menggemari akhir kisah yang menggantung. Bagi saya sendiri, selama ceritanya dituturkan dengan baik, saya tidak masalah dengan bentuk akhirnya. Akan tetapi, makin ke sini, lama-lama saya berubah menjadi tipe yang kedua. 

    Daripada hasilnya tak sesuai dengan kenginan kita, cerita yang menggantung terasa lebih cocok karena menyediakan ruang kepada pembaca untuk menerka-nerka kelanjutan kisahnya ataupun menganalisisnya. Ya, bisa dibilang sekalian melatih daya imajinasi kita. Mayoritas tulisan Raymond Carver dalam kumpulan cerpen ini termasuk ke jenis cerita dengan akhir yang menggantung, bahkan cenderung ambigu. 

    Ketika awal-awal membaca, saya pun sampai membatin mengapa ceritanya berakhir begitu saja saking ambigunya. Namun, saat dibaca ulang, saya malah terpukau dengan gaya penulisannya yang minimalis dan menerapkan teknik "show, don't tell". Jadi, sang penulis cuma menunjukkan sebuah adegan kepada pembacanya tanpa repot-repot menjelaskan mengapa kisahnya begini dan begitu. 

    Menurut saya, di situlah letak efektivitasnya. Saya kira Carver dengan sengaja menahan informasi pada cerita-ceritanya dan membiarkan pembaca berspekulasi sendiri. Misalnya, pada cerpen yang berjudul Satu Hal Lagi. Kisahnya cuma menunjukkan seorang istri yang menyuruh suaminya minggat. Sebab, saat pulang kerja, sang istri mendapati suaminya mabuk-mabukan lagi dan merundung anak gadisnya sendiri. 

    Suami itu tentu tidak terima diusir. Ia membuat keributan dengan memecahkan perabotan dan berujung ancaman dari sang istri yang ingin menelepon polisi. Akhirnya, sang suami pun terpaksa menuruti kemauan istrinya. Akan tetapi, sebelum sang suami benar-benar meninggalkan rumah, dia ingin mengatakan satu hal lagi kepada istri dan anak gadisnya. Namun, entah mengapa suaminya malah mendadak bingung mau bilang apa. 

    Cerita pun berakhir sampai di situ. Nah, timbul pertanyaan di benak pembaca, apa kira-kira yang ingin diucapkan sang suami? Berkat hal semacam itulah saya jadi lebih leluasa membayangkan motif para karakternya. Mungkin Carver ingin menunjukkan sisi kelam manusia tanpa perlu berterus terang, serta mengisahkan kesepian dan kesedihan hidup tanpa harus mendramatisasi.
  • Jorge Luis Borges
    Parabel Cervantes dan Don Quixote


    Yoga Akbar Sholihin

    Perkenalan saya dengan Jorge Luis Borges berawal dari sebuah kutipan "Membaca merupakan kegiatan yang lebih intelek daripada menulis." Dari sana, berangkatlah saya mencari tahu siapakah tokoh tersebut. Hasil pencarian itu langsung membuat saya terkesan. Sebab, saya jadi tahu bahwa penulis kelahiran Argentina ini sangat gemar membaca, bahkan ketika dirinya mengalami kebutaan pun ia tetap meminta tolong orang lain untuk membacakannya buku. 

    Berkat pembacaannya yang tekun dan teramat beragam itulah Borges mampu mengolah cerita dengan mengombinasikan beberapa hal sekaligus. Mitologi, fantasi, dan filsafat digabungkannya menjadi sebuah kisah baru yang belakangan saya ketahui bernama realisme magis.

    Di buku ini, kita akan menemukan kisah mengenai hewan-hewan yang berkaitan dengan mitologi seperti Burak, burung Simurgh, Bahamut, dan Ouroboros. ada juga kisah fantasi tentang pertemuan antara seorang tokoh yang sudah tua dengan dirinya sendiri sewaktu muda, lalu mereka mengobrol. Ada pula cerita seorang penulis yang berjumpa dengan tokoh karangannya sendiri.

    Kumpulan cerita di buku ini sungguh berbeda dengan cerpen kebanyakan. Jika cerpen yang biasa kita temukan berfokus pada alur dan penokohan, cerita-cerita di buku ini lebih mengedepankan gagasannya. Meski kelihatannya tampak rumit, keahlian Borges dalam bermain-main, yaitu memfiksikan yang nyata ataupun menyatakan yang fiksi, benar-benar membuat saya takjub. 

    Sampai-sampai saya bertanya kepada diri sendiri, "Harus berapa banyak membaca buku demi bisa mengolah cerita sekeren ini?" Sepertinya kutipan Borges tentang membaca itu benar adanya, sebab wawasan saya sepertinya langsung bertambah luas sehabis melahap cerita-cerita di buku ini.